Sabtu, 23 Juni 2018

kehidupan politik ekonomi sosial dan budaya pada masa kerajaan buleleng dan kerajaan dinasti warmadewa di bali

1.      Kehidupan Politik

Dinasti Warmadewa didirikan oleh Sri Kesari Warmadewa. Berdasarkan prasasti Belanjong, Sri Kesari Warmadewa merupakan keturunan bangsawan Sriwijaya yang gagal menaklukkan Kerajaan Tarumanegara di Jawa Barat. Kegagalan tersebut menyebabkan Sri Kesari Warmadewa memilih pergi ke Bali dan mendirikan sebuah pemerintahan baru di wilayah Buleleng.
Pada tahun 989-1011 Kerajaan Buleleng diperintah oleh Udayana Warmadewa. Udayana memiliki tiga putra, yaitu Airlangga, Marakatapangkaja, dan Anak Wungsu. Kelak, Airlangga akan menjadi raja terbesar Kerajaan Medang Kamulan di Jawa Timur. Menurut prasasti yang terdapat di pura batu Madeg, Raja Udayana menjalin hubungan erat dengan Dinasti Isyana di Jawa Timur. Hubungan ini dilakukan karena permaisuri Udayana bernama Gunapriya Dharmapatni merupakan keturunan Mpu Sindok. Kedudukan Raja Udayana digantikan putranya, yaitu Marakatapangkaja.
Rakyat Buleleng menganggap Marakatapangkaja sebagai sumber kebeneran hukum karena ia selalu melindungi rakyatanya. Marakatapangkaja membangun beberapa tempat peribadatan untuk rakyat. Salah satu peninggalan Marakatapangkaja adalah kompleks candi di Gunung Kawi (Tampaksiring). Pemerintahan Marakatapangkaja digantikan oleh adiknya, Anak Wungsu. Anak Wungsu merupakan raja terbesar dari Dinasti Warmadewa. Anak Wungsu berhasil menjaga kestabilan kerajaan dengan menanggulangi berbagai gangguan, baik dari dalam maupun luar kerajaan.
Dalam menjalankan pemerinahan, Raja Buleleng dibantu oleh badan penasihat pusat yang disebut pakirankiran i jro makabehan. Badan ini terdiri atas senapati dan pendeta Siwa serta Buddha. Badan ini berkewajiban memberi tafsiran dan nasihat kepada raja atas berbagai permasalahan yang muncul dalam masyarakat. Senapati bertugas di bidang kehakiman dan pemerintahan, sedangkan pendeta mengurusi masalah sosial dan agama.

2.      Kehidupan Sosial Budaya

Para ahli memperkirakan keadaan masyarakat Buleleng pada masa Dinasti Warmadewa tidak begitu jauh berbeda dengan masyarakat pada saat ini. Pada masa pemerintahan Udayana, masyarakat hidup berkelompok dalam suatu daerah yang disebut wanua. Sebagaian besar penduduk yang tinggal di wanua bermata pencaharian sebagai petani. Sebyah wanua dipimpin seorang tetua yang dianggap pandai dan mampu mengayomi masyarakat.
Pada masa pemrintahan Anak Wungsu, masyarakat Buleleng dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu golongan caturwarna dan golongan luar kasta (jaba). Pembagian ini didasarkan pada kepercayaan Hindu yang dianut masyarakat Bali. Raja Anak Wungsu juga mengenalkan sistem penamaan bagi anak pertama, kedua, ketiga, dan keempat dengan nama pengenal sebagai berikut.
1)        Anak pertama dinamakan wayan. Kata wayan berasal dari wayahan yang berarti tua.
2)        Anak kedua dinamakan made. Kata made berasal dari madya yang berarti tengah.
3)        Anak ketiga dinamakan nyoman. Kata nyoman berasal dari nom yang berarti muda.
4)        Anak keempat dinamakan ketut. Kata ketut berasal dari tut yang berarti belakang.
Selama pemerintahan Anak Wungsu, peraturan dan hukum ditegakkan dengan adil. Masyarakat diberi kebebasan berbicara. Jika masyarakat ingin menyampaikan pendapat, mereka didampingi pejabat desa untuk menghadap langsung kepada raja. Kebebasan tersebut membuktikan Raja Anak Wungsu sangat memperhatikan nasib rakyat yang dipimpinnya. Jiwa seperti inilah yang saharusnya dilakukan pemimpin pada saat itu. Jika Anda menjadi seorang pemimpin, Anda harus mendegar dan merespons segala keluhan rakyat.
Masyarakat Buleleng sudah mengembangkan berbagai kegiatan kesenian. Kesenian berkembang pesat pada masa pemerintahan Raja Udayana. Pada masa ini kesenian dibedakan menjadi dua, yaitu seni keraton dan seni rakyat. Dalam seni keraton dikenal penyanyi istana yang disebut pagending sang ratu. Selain penyanyi dikenal pula kesenian patapukan (topeng), pamukul (gamelan), banwal (gadelan), dan pinus (lawak). Adapun jenis kesenian yang berkembang di kalangan rakyat antara lain awayang ambaran (wayang keliling), anuling (peniup suling), atapukan (permainan topeng), parpadaha (permainan genderang), dan abonjing (permainan angklung).

3.      Kehidupan Ekonomi

Kegiatan ekonomi masyarakat Buleleng bertumpu pada sektor pertanian. Keterangan kehidupan ekonomi masyarakat Buleleng dapat dipelajari dari prasasti Bulian. Dalam prasasti Bulian terdapat beberapa istilah yang berhubungan dengan sisitem bercocok tanam seperti sawah, parlak (sawah kering), gaga (ladang), kebwan (kebun), mmal (ladang di pegunungan), dan kasuwakan (pengairan sawah). Pada masa pemerintahan Marakatapangkaja kegiatan pertanian berkembang pesat. Perkembangan tersebut erat kaitannya dengan penemuan urut – urutan menanam padi, yaitu mbabaki (pembukaan tanah), mluku (membajak), tanem (menanam padi), matun (menyiangi), ani-ani (menuai padi), dan nutu (menumbuk padi). Dari keterangan tersebut sangat jelas bahwa pada masa pemerintahan Marakatapangkaja penggarapan tanah sudah maju dan tidak jauh berbeda dengan pengolahan tanah pada masa ini.
Perdagangan antarpulau di Buleleng sudah cukup maju. Kemajuan ini ditandai dengan banyaknya saudagar yang bersandar dan melakukan kegiatan perdagangan dengan penduduk Buleleng. Komoditas dagang yang terkenal dari Buleleng aalah kuda. Dalam prasasti Lutungan disebutkan bahwa Raja Anak Wungsu melakukan transaksi perdagangan tiga puluh ekor kuda dengan saudagar dari Pulau Lombok. Keterangan tersebut membuktikan bahwa perdagangan pada saai itu sudah maju sebab kuda merupakan binatang besar sehingga memerlukan kapal besar pula untuk mengangkutnya.

4.      Kehidupan Agama

Agama Hindu Syiwa mendominasi kehidupan masyarakat Buleleng. Akan tetapi, tardisi megalitik msih mengakar kuat dalam masyarakat Buleleng. Kondisi ini dibuktikan dengan penemuan beberapa bangunan pemujaan seperti punden berundak di sekitar pura-pura Hindu. Pada masa pemerintahan Janasadhu Warmadewa (975-983) pengaruh Buddha mulai berkembang di Buleleng. Agama Buddha berkembang di beberapa tempat di Buleleng seperti Pejeng, Bedulu, dan Tampaksiring. Perkembangan agama Buddha di Buleleng ditandai dengan penemuan unsur-unsur Buddha seperti arca Buddha di gua Gajah dan stupa di pura Pegulingan.
Agama Hindu dan Buddha mulai medapatkan peranan penting pada masa Raja Udayana. Pada masa ini pendeta Syiwa dan Brahmana Buddha diangkat sebagai salah satu penasihat raja. Sesuai dengan kepercayaan Hindu, raja dianggap penjelmaan (inkarnasi) dewa. Dalam prasasti Pohon Asem dijelaskan Anak Wungsu merupakan penjelmaan Dewa Hari (Wisnu). Bukti ini menunjukkan bahwa Raja Anak Wungsu dan rakyat Buleleng merupakan penganut waisnawa, yaitu pemuja Dewa Wisnu. Selain agama Hindu dan Buddha, di Buleleng berkembang sekte-sekte kecil yang menyembah dewa-dewa tertentu, misalnya sekte Ganapatya (penyembah Dewa Gana) dan Sora (penyembah dewa Matahari).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

proses kembalinya negara kesatuan

 Proses Kembali ke Negara Kesatuan RI (NKRI) Dengan melalui perjuangan bersenjata dan diplomasi akhirnya Bangsa Indonesia memperoleh pengaku...